BANJARMASIN, klikkalsel.com – Hari ini 14 Agustus 2025, tepat 75 tahun lalu, Kalimantan Selatan resmi kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah melalui masa penuh gejolak politik dan pergolakan rakyat menentang bentuk negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS).
Mansyur, Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat sekaligus Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan, menjelaskan proses kembalinya Kalsel ke NKRI pada 1950 adalah hasil dorongan kuat masyarakat yang menolak warisan politik kolonial Belanda.
âBentuk negara federal saat itu dianggap sebagai upaya Belanda memecah belah Republik Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945. Di Kalsel, penolakan itu diwujudkan lewat mosi, rapat umum, hingga demonstrasi besar-besaran,â ungkap Mansyur, Kamis (14/8/2025).
Menurutnya, sejak Januari 1950, Dewan Banjar, partai politik, dan organisasi massa di berbagai daerah seperti Banjarmasin, Amuntai, Kandangan, hingga Kuala Kapuas, mendesak agar Banjar dan daerah lain di Kalimantan segera bergabung kembali ke Republik Indonesia.
Puncaknya, Presiden RIS menerbitkan Surat Keputusan yang menghapus status Daerah Banjar dan memasukkannya ke wilayah Republik Indonesia pada MaretâApril 1950.
âSerah terima daerah-daerah di Kalimantan Selatan dilakukan bertahap, dan pada April 1950 seluruhnya resmi menjadi bagian RI,â jelas Mansyur.
Baca Juga :Â Paman Birin Hadir di Puncak Peringatan Harjad Kalsel ke-75, Gubernur H. Muhidin Beri Pelukan Hangat
Langkah tersebut diikuti pembentukan enam kabupaten administratif dan tiga swapraja di bawah kepemimpinan gubernur berkedudukan di Banjarmasin.
âPada 14 Agustus 1950, melalui Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950, lahirlah Provinsi Kalimantan, dengan wilayah Karesidenan Kalsel sebagai bagian utamanya. Inilah yang menjadi dasar penetapan 14 Agustus sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan,â papar Mansyur.
Namun, periode awal pasca-kembali ke NKRI tidak sepenuhnya mulus. Kebijakan peleburan KNIL ke APRIS (TNI) memicu ketegangan di daerah.
Banyak pejuang gerilya kecewa, hingga muncul pemberontakan yang dipimpin Ibnu Hadjar pada 1950.
âIni bagian dari dinamika awal provinsi, di mana ketidakpuasan terhadap kebijakan pusat dan dominasi pejabat dari luar Kalimantan menimbulkan konflik bersenjata,â kata Mansyur.
Meski begitu, Mansyur menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa ini memperlihatkan semangat rakyat Kalsel mempertahankan integrasi dengan Indonesia.
âSejarah ini harus diingat, terutama pada peringatan 75 tahun Kalsel, bahwa provinsi ini lahir dari semangat persatuan, perlawanan terhadap kolonialisme, dan perjuangan politik rakyatnya,â pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi





