BANJARMASIN, klikkalsel.com – Kebijakan penyaluran program Makan Bergizi Gratis (MBG) selama libur sekolah dengan istilah fleksibel kembali menuai sorotan.
Kritik tersebut datang dari Pengamat Kebijakan Publik, Subhan Syarief, yang menilai fleksibilitas kebijakan justru berpotensi mengaburkan hak dasar anak atas pemenuhan gizi.
Menurut Subhan, istilah fleksibel dalam kebijakan MBG sejatinya bisa dipahami sebagai upaya adaptasi teknis di lapangan.
Namun, fleksibilitas tersebut seharusnya hanya berlaku pada mekanisme penyaluran, bukan pada keputusan apakah hak gizi anak diberikan atau tidak.
Menurutnya ketika sekolah diberi kewenangan memilih menyalurkan atau menghentikan MBG selama libur tanpa standar nasional yang tegas, kebijakan itu dinilai rawan multitafsir dan berujung pada ketidakpastian implementasi di daerah, termasuk di Kota Banjarmasin.
Ia menegaskan, praktik penghentian layanan gizi saat libur sekolah bukanlah hal lazim dalam program pemenuhan kebutuhan dasar.
Bahkan kata Subhan di banyak negara, program makan sekolah justru tetap berjalan saat libur dengan skema berbeda, seperti paket makanan tahan lama atau jatah yang bisa dibawa pulang.
“Ketika sekolah libur, layanan tidak dihentikan, tetapi dialihkan bentuknya misalnya melalui paket makanan tahan lama atau take home ration,” tegasnya, Senin (22/12/2025).
“Karena kebutuhan gizi anak bersifat biologis dan berkelanjutan, tidak mengikuti kalender akademik,” lanjutnya.
Baca Juga : Penyaluran MBG Selama Libur Sekolah Bersifat Fleksibel, Disdik Banjarmasin Belum Pegang Data
Baca Juga : “Fazar Bungaz” dan Pasangan Sesama Jenisnya Terancam 12 Tahun Penjara Karena Kasus Pornografi
Ia juga menjelaskan bahwa sejumlah kajian menunjukkan bahwa masa libur sekolah justru menjadi periode rawan penurunan kualitas asupan gizi, terutama bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Dalam konteks ini, kebijakan yang membuka ruang penghentian MBG dinilai bertentangan dengan esensi program itu sendiri.
Subhan juga mengingatkan potensi ketimpangan yang muncul akibat perbedaan keputusan administratif antar sekolah. Anak di satu sekolah bisa tetap menerima MBG saat libur, sementara anak di sekolah lain tidak, padahal kebutuhan gizinya sama.
“Jika tujuan MBG adalah pemenuhan gizi anak, maka penghentian layanan tanpa mekanisme pengganti akan mengurangi efektivitas program dan memperlebar ketimpangan,” ujarnya.
Tak hanya berdampak pada penerima manfaat, kebijakan tersebut juga dinilai bermasalah dari sisi pengelolaan keuangan negara. Dana MBG yang tidak tersalurkan, kata Subhan, tidak boleh berada dalam ruang abu-abu.
Dalam sistem keuangan negara, belanja yang tidak terealisasi harus dicatat secara jelas sebagai anggaran tidak terserap dan dikelola sesuai mekanisme perbendaharaan.
Tanpa aturan operasional yang tegas, fleksibilitas MBG justru berpotensi menciptakan efisiensi semu anggaran terlihat dihemat, tetapi hak anak dikorbankan.
Atas dasar itu, Subhan mendesak pemerintah, termasuk pemerintah daerah, untuk segera melakukan evaluasi dan memperjelas kebijakan MBG selama libur sekolah.
Ia menilai perlu adanya standar minimum nasional yang memastikan pemenuhan gizi anak tetap berjalan, dengan fleksibilitas hanya pada pola distribusi.
“Gizi anak adalah hak dasar, bukan pilihan administratif,” terangnya.
Ia menekankan, keberhasilan program sebesar MBG tidak boleh diukur semata dari serapan anggaran, tetapi dari sejauh mana program tersebut benar-benar melindungi kebutuhan dasar anak, khususnya kelompok yang paling rentan.
“Sorotan ini sekaligus menjadi pengingat bagi Pemko Banjarmasin agar tidak sekadar menunggu tafsir fleksibilitas,” ungkapnya.
“Kita harus memastikan kebijakan di daerah tetap berpihak pada substansi utama yakni hak gizi anak yang tidak boleh berhenti meski sekolah libur,” tandasnya.(fachrul)
Editor: Amran





