BANJARMASIN, klikkalsel.com – Menyambung cerita matinya pelabuhan Martapura Lama di Jalan RE Martadinata dekat Kantor Walikota Banjarmasin yang sudah tidak ada aktivitas perdagangan, karena sejak tahun 1965 telah dipindahkan ke Pelabuhan Trisakti.
Diungkapkan Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, aktivitas bongkar muat Pelabuhan Lama tidak berfungsi lagi karena faktor adanya hambatan kondisi alam tidak bersahabat yang sangat dominan dalam operasional Pelabuhan lama Banjarmasin tahun 1901-1930 an.
“Selain pengerukan lumpur, berdasarkan laporan Departement der Burgerlijke Openbare Werken, Nederlandsch-Indische Havens dalam Susilowati (2004), dilakukan perbaikan sarana pelabuhan, dengan menggali sebuah anak kanal,” jelasnya, Jumat (13/1/2023).
Pembuatan anak kanal, lanjut Mansyur, dimaksudkan agar gudang-gudang di kawasan tersebut dapat dicapai dengan perahu.
“Langsung dari sungai, tanpa tergantung pada dermaga schroefpaal. Dengan cara ini aktivitas bongkar muat barang lebih mudah.” ujarnya
Karena itu, peningkatan kondisi fisik pelabuhan, antara tahun 1924-1925, kembali dilakukan.
“Kanal itu dibuat sepanjang 125 meter, yang menghabiskan biaya begitu besar. Setidaknya itulah yang dituliskan dalam laporan Verslag van de Kleine Haven in Nederlandsch Indie, 1924-1925,” tuturnya.
Selain itu juga direncanakan untuk mengadakan perbaikan emplasemen pelabuhan dengan anggaran biaya sebesar.
Pada sisi lain, Susilowati (2004), kata Mansyur, ia memaparkan selain kekurangan di kompleks pelabuhan, pada jalan masuk ke pelabuhan pun terdapat kelemahan.
Pada lokasi sekitar Kota Banjarmasin terdapat semacam teluk. Teluk ini mengganggu kelancaran lalu-lintas kapal-kapal yang akan masuk ke pelabuhan.
Untuk mengatasinya, Dinas Pelabuhan telah mengusulkan kepada pemerintah melakukan penggalian.
Baca Juga Endapan Lumpur dan Pendangkalan, Kasus Dibalik Matinya Pelabuhan Martapura Lama (Bagian 1)
Baca Juga Dua Peti Kemas di Pelabuhan Trisakti Kota Banjarmasin Terbakar
“Apakah pemerintah Hindia Belanda tidak takut merugi? Dengan mempertim-bangkan posisi Banjarmasin sebagai sebuah pelabuhan yang diusahakan (untuk aktivitas perdagangan), maka besarnya biaya yang dikeluarkan akan teratasi oleh hasil yang akan diperoleh,” imbuhnya.
Apalagi, pelabuhan Banjarmasin sangat tergantung pada jaringan lalu-lintas air dengan daerah pedalaman. Sementara itu perairan sungai sekitar Banjarmasin dalam kondisi tidak cukup dalam.
Akibatnya pada musim kemarau, ketika permukaan air sungai turun, kapal-kapal uap kecil dan perahu-perahu motor yang akan berlayar ke Kahayan atau kota-kota kecil lainnya di sekitar Banjarmasin tidak dapat menempuh pelayaran dalam.
“Ketergantungan pelabuhan Banjarmasin pada daerah pedalaman sangat tinggi. Karena itu menurut K. Broersma, dalam tulisannya Handel en Bedriff in Zuid en Oost Borneo, sangat perlu pemeliharaan perairan sungai yang dalam secara terus-menerus,” jelasnya.
Tujuannya, agar tetap dapat dilayari menjadi lebih mendesak daripada perbaikan perairan di luar pelabuhan, di mana terdapat endapan lumpur yang tidak mudah dihilangkan.
Dengan berbagai kekurangan dan kelebihan yang ada, khususnya dengan tersedianya potensi ekspor yang melimpah dari daerah pedalaman, Banjarmasin akan mampu menempatkan diri sebagai pelabuhan terbaik di Kalimantan Selatan.
“Dari segi regulasi, status Pelabuhan Martapura sebagai pelabuhan yang diusahakan baru diperoleh pada tahun 1925 dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 19 tanggal 25 November 1925,” terangnya.
“Kemudian dituangkan dalam Sraarsblad nomor 60311925. Keputusan itu selanjutnya direvisi dengan besluit nomor 14 tanggal 17 Oktober 1933 atau Staatsblad nomor 616 tahun 1933,” sambungnya.
Dalam perkembangannya, kata Mansyur hingga tahun 1942, menurut Susilowati (2004) tepatnya dua hari sebelum tentara Jepang masuk ke kota Banjarmasin, pelabuhan Martapura dibumihanguskan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pelabuhan yang cukup ramai itu nyaris rata dengan tanah. Gudang gudang dan kompleks kantor pelabuhan porak poranda.
Bangunan tertinggal hanya jembatan pendaratan (dermaga) sepanjang 248 meter yang sebagian juga rusak karena politik bumi hangus yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang pelabuhan Martapura dibangun kembali. Jembatan pendaratan diperpanjang 100 meter lagi sehingga menjadi 348 meter.
Sejak saat itu pelabuhan Martapura memiliki dua dermaga. Pertama, dermaga lama sepanjang 243 meter dengan lebar 10,5 meter dimana lantai dermaga dan konstruksi penunjangnya berbahan kayu ulin (kayu besi).
“Kedua, dermaga baru sepanjang 100 meter yang lantai dermaganya terbuat dari kayu biasa, tetapi konstruksi penunjangnya dari ulin (kayu besi),” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi