BANJARMASIN, klikkalsel.com – Indonesia merupakan negara hukum yang diatur dengan undang-undang. Karena itu sebagai warga negara sudah seharusnya kita mematuhi aturan dan jika melanggar akan mendapatkan hukuman sebagai pelaku kejahatan pidana.
Tidak hanya para orang dewasa, anak-anak juga bisa saja menjadi pelaku suatu perbuatan kejahatan pidana dan akan mendapatkan konsekuensi hukum.
Namun, diperkirakan masih banyak orang yang bertanya jika anak dibawah umur apakah dapat dijerat hukum?
Dijelaskan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan (FH Uniska) Muhammad Arsyad Al-Banjari, Dr Afif Khalid, ketentuan tentang hukum pidana bagi anak di bawah umur telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
“Seorang anak yang berhadapan dengan hukum harus mendapatkan perlakuan dan penanganan berbeda dari pelaku dewasa,” jelasnya, Kamis (10/8/2023)
Hal itu, kata Afifi sudah menurut Pasal 1 Ayat 2 UU tersebut, yang mana anak berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
“Anak di bawah umur yang dimaksud berkonflik dengan hukum adalah mereka yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 yang diduga melakukan tindak pidana,” jelasnya.
Baca Juga : Maraknya Kekerasan Oleh Anak Dibawah Umur di Banjarmasin Perlu Perhatian Banyak Pihak
Oleh Karena itu, anak bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana jika sudah berusia 12 tahun dan belum berusia 18 tahun.
Sesuai dengan pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA.
“Batas usia anak ini naik dari aturan sebelumnya, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, di mana usia minimal adalah 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun,” ungkapnya.
Selain mengatur anak di bawah umur yang berpotensi berkonflik dengan hukum, UU SPPA mengatur anak di bawah umur yang dapat menjadi korban dan saksi dalam sebuah tindak pidana.
“Jadi menurut UU SPPA, anak di bawah umur dapat dijerat hukum. Penanganan perkara anak, perlu penerapan keadilan restoratif,” ujarnya.
Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara dengan tujuan mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
“Maksudnya, penyelesaian perkara tindak pidana dilakukan dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Proses ini melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak terkait lain,” jelasnya.
Karena itu, keadilan restoratif membawa konsekuensi untuk mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak, dibandingkan kepentingan masyarakat umum.
Lebih lanjut, kata Afif, UU SPPA juga mengatur sistem peradilan pidana anak meliputi tiga hal.
Pertama, penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang tersebut.
kedua, persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
“Ketiga, pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan,” pungkasnya. (airlangga)
Editor: Abadi