Sejarah: Perkembangan Lekra di Kalimantan Selatan, Organisasi di Bawah Naungan PKI

Beberapa aktivis Lekra berpose dengan latar sekretariat Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra yang dibentuk oleh DN Aidit, MS Ashar, AS Dharta, dan Nyoto pada 17 Agustus 1950. (Mansyur)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebagai organisasi yang berada dibawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI), memiliki jejak sejarah yang penting di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Mansyur sejarawan dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menjelaskan, bagaimana Lekra menjadi wadah penting bagi para seniman dan intelektual di daerah tersebut, terutama sebelum terjadinya Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.

“Lekra di Kalsel berkembang pesat sejak didirikan, dengan banyak seniman, sastrawan, dan pelukis yang bergabung untuk memajukan kebudayaan berbasis kerakyatan,” ujarnya, Selasa (1/10/2024).

“Lekra bukan hanya organisasi politik, tetapi juga menjadi ruang bagi banyak seniman untuk mengekspresikan karya mereka,” lanjut Mansyur.

Salah satu tokoh penting Lekra di Banjarmasin adalah Misbach Tamrin, seorang seniman asal Amuntai yang memiliki latar belakang pendidikan seni di ASRI Yogyakarta. Ia kemudian ditahan selama 13 tahun oleh rezim Orde Baru karena dianggap terkait dengan PKI.

“Selain Misbach, Toga Tambunan juga menjadi tokoh sentral Lekra di Banjarmasin,” ungkapnya.

Mansyur menjelaskan, Toga datang ke Kalsel pada tahun 1962 sebagai pegawai kesehatan yang bertugas menangani penyakit malaria. Namun, kecintaannya pada kesenian menariknya untuk terlibat aktif di Lekra.

“Meski Toga mengaku bukan anggota PKI, tetapi keterlibatannya di Lekra membuatnya ditahan selama 14 tahun,” tambah Mansyur.

Baca Juga : Hari Kesaktian Pancasila, Momentum Kewaspadaan Nasional Menangkal Ideologi Radikal

Baca Juga : Kalsel Utus 305 Atlet dan Official ke Peparnas Solo Dengan Target 3 Besar Nasional

Pasca peristiwa G30S, situasi di Kalsel relatif lebih tenang dibandingkan daerah lain seperti Kalimantan Tengah (Kalteng).

“Tidak ada pembantaian massal seperti di Kalteng, namun tetap ada korban akibat penyiksaan saat interogasi dan beberapa yang ditembak mati saat berusaha melarikan diri dari kamp tahanan,” jelas Mansyur.

Para tahanan politik, termasuk dari Lekra, kemudian dipaksa bekerja untuk proyek-proyek infrastruktur, seperti pengerasan jalan di rute Kalsel- Kalimantan Timur (Kaltim).

Mansyur juga menyoroti bagaimana seniman Kalsel seperti H. Adjim Arijadi mengalami tekanan dari kelompok Lekra. Adjim yang pada waktu itu terlibat dalam komunitas seni Manikebus, berusaha mementaskan karya drama berjudul “Alam yang Diputihkan” pada 5 Oktober 1965

“Namun, peristiwa G30S menggagalkan rencana tersebut. Sebagai reaksi atas kejadian itu, Adjim memimpin gerakan perlawanan terhadap PKI dan organisasi sayapnya, termasuk Lekra,” imbuhnya.

Mansyur juga mengatakan, dengan menekankan pentingnya melihat sejarah Lekra di Kalsel tidak hanya dari perspektif politik, tetapi juga sebagai bagian dari perkembangan kebudayaan di daerah ini.

“Meskipun Lekra akhirnya dibubarkan dan tokoh-tokohnya ditangkap, peran mereka dalam dunia seni tidak bisa dihapus begitu saja dari sejarah. Lekra, dengan segala dinamikanya, telah meninggalkan jejak yang mendalam di Kalsel, baik dalam konteks kebudayaan maupun politik,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi