Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama di Martapura dan Peranan Tuan Guru Tuha

Foto KH. Abdul Qadir Hasan atau yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Tuha. (sumber: Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan)

BANJARMASIN, klikkalsel.com – Pada tahun 1927, Nahdlatul Ulama (NU) resmi berdiri di Martapura, Kalimantan Selatan diprakarsai KH. Abdul Qadir Hasan atau yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Tuha.

Organisasi Islam berhaluan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) ini diketahui berkembang pesat di wilayah tersebut, dengan dukungan ulama dan masyarakat setempat.

Menurut Mansyur, Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan dan Dosen Pendidikan Sejarah di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Tuan Guru Tuha memiliki latar belakang pendidikan yang kuat.

“Beliau menimba ilmu di beberapa pesantren besar di Jawa Timur seperti Pesantren Tebu Ireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan Pesantren Salafiyah Bangkalan pimpinan Kyai Kholil. Selain itu, KH. Abdul Qadir Hasan juga sempat belajar di Makkah, Arab Saudi,” ujarnya, Senin (16/9/2024) kepada kliklalsel.com

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Jawa, KH. Abdul Qadir Hasan menghadiri Muktamar Nahdlatul Ulama yang pertama di Surabaya pada tahun 1926.

“Sekembalinya ke Martapura, beliau segera mendirikan cabang NU di kota tersebut pada tahun 1927. Ini adalah cabang pertama NU di luar Pulau Jawa, dan didirikan dengan tujuan untuk menjaga kelestarian ideologi Aswaja di Kalimantan Selatan,” jelas Mansyur.

Baca Juga UAS Kisahkan Sejarah Pemimpin Perempuan Hingga Titip Pesan Kepada Lisa Halaby Jika Ditakdirkan Menjadi Wali Kota Banjarbaru

Baca Juga Catatkan Sejarah Baru Masuk ke Semi Final, Tim Sepakbola PON Kalsel Optimis Raih Medali Emas

Peran penting Tuan Guru Tuha juga terlihat dalam pengelolaan Pondok Pesantren Darussalam Martapura, salah satu pusat pendidikan Islam terbesar di Kalimantan Selatan.

“Pada masa kepemimpinan beliau, sistem pendidikan di pesantren mulai dibagi menjadi beberapa tingkat seperti tahdiri, ibtidaiyah, dan tsanawiyah. Sistem ini membantu memajukan pendidikan Islam di wilayah ini,” jelas Mansyur.

Kehadiran NU di Martapura mendapat dukungan penuh dari Tuan Guru KH. Kasyful Anwar, pendiri Pesantren Darussalam.

Madrasah yang semula dibangun oleh Sarekat Islam pada tahun 1914 itu kemudian berafiliasi dengan NU, menjadikan lembaga ini sebagai basis utama perkembangan NU di Kalimantan Selatan.

Seiring waktu, NU terus berkembang, hingga pada tahun 1931 didirikan cabang NU di Banjarmasin, dengan tokoh-tokohnya seperti Said Ali Alkaf, H. Akhmad Nawawi, dan H. Hasyim.

“Dukungan dari ulama lokal dan jaringan santri yang kuat menjadi kunci keberhasilan NU dalam menyebarkan ideologi Aswaja di wilayah pedesaan dan perkotaan di Kalimantan Selatan,” ujar Mansyur.

Di bawah kepemimpinan KH. Abdul Qadir Hasan, NU berfokus pada kegiatan sosial dan pendidikan, serta menolak kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Hingga beliau wafat pada 17 Juni 1978.

“Melalui madrasah-madrasah NU, para santri diajarkan untuk mencintai tanah air dan menentang penjajahan. Ini menjadi salah satu kontribusi penting NU dalam pergerakan nasional,” pungkasnya. (airlangga)

Editor: Abadi