BANJARMASIN, klikkalsel – Pulau Laut berada wilayah tenggara pulau besar Kalimantan. Keberadaannya sangat penting karena turut memberikan kontribusi terhadap keberadaan gigis garis pantai di wilayah pulau Kalimantan dari sisi sebelah tenggara.
Memang, untuk ukuran Indonesia, Pulau Laut yang memiliki luas ± 1.873,36 km2. Ini tampak kecil bahkan dalam peta nyaris tidak terlihat. Namun keberadaannya saat ini dalam dilema, yakni terjadi tarik menarik antara pertambangan PT Silo grup dan Pemprov Kalsel.
Penduduk Pulau Laut yang terdiri dari suku Banjar dan Bugis, hidup sebagai petani dan nelayan. Sejak nenek moyang mereka mencukupi keperluan sehari-hari dengan bercocok tanam dan menangkap ikan. Alam tetap lestari, dan keindahan pulau dengan pantai-pantai nan elok terus terjaga.
Sampai kemudian, sebuah grup perusahaan pertambangan batubara akan bercokol di sana, masyarakat pun menjadi cemas.
“Kami tidak mau seperti Pulau Sebuku. Sawah rusak, pesisir penuh limbah. Dan saat tambang habis, kami akan jadi penunggu pulau sunyi,” ucap Saifullah, tokoh masyarakat di Selino, Kecamatan Pulau Laut Tengah, awal Mei tadi.
Guru SD ini menceritakan, warga di sana mayoritas petani sawah dan nelayan. “Sejak dari dulu begitu. Mereka hidup sebagai petani dan nelayan,” jelasnya.
Kekhawatiran Saifullah dan sebagian besar warga dengan adanya rencana penambangan batubara cukup beralasan. Pasalnya, Desa Selino ternyata sangat dekat dengan rencana pelabuhan tambang di Pulau Laut. Lahan pertanian mereka hanya berjarak sekitar lima kilometer dari rencana pelabuhan tambang.
Sementara dengan pesisir nelayan jaraknya lebih dekat lagi, yakni hanya sekitar satu kilometer. “Jadi jelas, kami menolak penambangan,†tegasnya.
Penolakan itu tentu juga berkaca pada Pulau Sebuku yang telah ditambang lebih dulu. Pulau Sebuku juga merupakan salah satu pulau kecil di wilayah Kabupaten Kotabaru yang kini kondisinya rusak parah akibat gencarnya aktivitas tambang batubara dan bijih besi di sana.
Amirudin dan Aleng, petani di Desa Selino, menyatakan kekhawatirannya apabila Pulau Laut ditambang.
Dia bercerita, tahun 2015 hingga 2017 pernah marak pendulangan emas. Dan akibatnya limbah masuk ke irigasi sawah. “Padi kami menjadi kurus, waktu itu,” ucapnya.
Bila pendulangan emas yang kecil saja memberikan dampak begitu, tentu penambangan batubara bisa memberikan dampak lebih besar lagi. “Karenanya, jangan ada tambang,†timpal Aleng.
Disebutkan, Desa Selino dan sekitarnya termasuk penghasil beras terbesar kedua di Pulau Laut. Posisi pertama di Desa Berangas Kecamatan Pulau Laut Timur.
Kecamatan Pulau Laut Timur adalah kawasan yang rencananya pertama kali akan ditambang.
Yang tak kalah cemasnya dengan rencana penambangan batubara tentu saja para nelayan. Terutama terkait dengan pelabuhan dan aktivitas bongkar muat “emas hitamâ€.
Nelayan di Desa Selino memastikan mereka akan kehilangan pekerjaan, karena tak ada lagi hasil tangkapan. Biasanya mereka mencari udang di pesisir dengan perahu mesin ukuran kecil. Jarak pesisir RT 1 sekitar satu kilometer dari rencana pelabuhan tambang jika diukur dari garis pantai.
“Kami mencari udang tidak ke laut lepas, di pinggir saja, dekat,” kata salah satu nelayan tua di sana.
Apabila tambang dibuka, dia tak tahu harus bagaimana mencari penghidupan. “Kami adalah nelayan. Yang kami tahu hanya bagaimana menangkap udang dan ikan. Janganlah ada pertambangan,” mohon nelayan tua di RT 1 Desa Selino itu.
Para nelayan dan petani tidak saja mencemaskan mata pencarian mereka akan hilang karena pertambangan, tetapi juga dampak lingkungan lainnya. “Bagaimana debunya? Bagaimana anak sekolah?†tanya mereka.
Penolakan terhadap tambang batubara tidak hanya disuarakan para petani dan nelayan di Pulau Laut. Aktivis lingkungan di Kabupaten Kotabaru pun bersuara.
“Pulau Laut itu pulau kecil. Mau jadi apa kalau ditambang? Masih tidak puas kah lihat kondisi Pulau Sebuku?” kata Ketua Dewan Adat Dayak Kotabaru, Sugian Noor, Kamis (3/5).
Sampai kapanpun, kata pria kelahiran Kotabaru ini, dia dan putra daerah lainnya akan terus menyuarakan perlawanan. “Siapapun yang mau menambang batubara di Pulau Laut akan berhadapan dengan kami,” tegasnya.
Dia kemudian menekankan, jika perusahaan tambang mengatakan mayoritas masyarakat setuju, itu adalah opini sesat.
“Faktanya adalah, sudah tiga bupati kita kampanye Pilkada selalu mengatakan tolak tambang. Mereka yang kampanye tolak tambang menang semua. Artinya memang mayoritas warga Pulau Laut menolak, dan aspirasi itu dijadikan jualan politik,” cetusnya.
Sekarang, dan kelak, ke manakah muara nasib Pulau Laut? Akankah tetap menjadi milik para petani dan nelayan? Ataukah dieksploitasi tambang. (david)